Rabu, 26 Januari 2011

PRINSIP DASAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Undang-Undang NO. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau pelatihan bagi peranannya di masa datang”. Dalam Undang-Undang tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) dan (2), dikemukakan bahwa “(1) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara; dan (2) pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan undang-undang tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
Unesco (1979) mendefinisikan pendidikan adalah komunikasi terorganisasi dan berkelanjutan yang dirancang bangun untuk menumbuhkan belajar. Sejalan dengan itu Smith(1982) mengemukakan bahwa pendidikan adalah kegiatan sistemik untuk menumbuhkembangkan belajar. Berdasarkan penelitian tersebut maka pendidikan, selain bertujuan untuk terwujudnya perubahan perilaku peserta didik dalam ranah kognisi, afeksi, psikomotorik, dan aspirasi setelah mengikuti pembelajaran, melainkan pula untuk tumbuh kembangnya budaya belajar. Budaya belajar inilah yang hendaknya merupakan bagian dari peseta didik atau lulusan lembaga pendidik sehingga mereka mampu belajar untuk mengetahui (larning how to now), belajar untuk belajar (learning how to learn, to relearn, to unlearn), belajar untuk mengerjakan sesuatu (learning how to do), belajar untuk memecahkan masalah (learning how to solve problems), belajar untuk hidup bersama (learning how to live together), dan belajar untuk kemajuan kehidupan (learning how to be) (Sudjana, 2006).
Untuk bisa melaksanakan pembelajaran sehingga siswa mampu belajar untuk mengetahui (larning how to now), belajar untuk belajar (learning how to learn, to relearn, to unlearn), belajar untuk mengerjakan sesuatu (learning how to do), belajar untuk memecahkan masalah (learning how to solve problems), belajar untuk hidup bersama (learning how to live together), dan belajar untuk kemajuan kehidupan (learning how to be) maka dalam melaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia guru perlu memahami prinsip-prinsip dan landasan pembelajaran bahasa Indonesia yang akan dipaparkan berikut ini.
1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mengacu pada wawasan pembelajaran yang dilandasi prinsip (l) humanisme, (2) progresivme, dan (3) rekonstruksionisme. Prinsip humanisme berisi wawasan sebagai berikut.
a. Manusia secara fitrah memiliki bekal yang sama dalam upaya memahami sesuatu. Implikasi wawasan ini terhadap kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) guru bukan merupakan satu-satunya sumber informasi, (b) siswa disikapi sebagai subyek belajar yang secara kreatif mampu menemukan pemahaman sendiri, (c) dalam proses belajar mengajar guru lebih banyak bertindak sebagai model, teman pendamping, pemotivasi, fasilitator, dan aktor yang juga bertindak sebagai pebelajar.
b. Perilaku manusia dilandasi motif dan minat tertentu. Implikasi dari wawasan tersebut dalam kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) isi pembelajaran harus memiliki kegunaan bagi pebelajar secara aktual, (b) dalam kegiatan belajarnya siswa harus menyadari manfaat penguasaan isi pembelajaran bagi kehidupannya, (c) isi pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan, pengalaman, dan pengetahuan pebelajar.
c. Manusia selain memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan. Implikasi wawasan tersebut dalam kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) layanan pembelajaran selain bersifat klasikal dan kelompok juga bersifat individual, (b) pebelajar selain ada yang dapat menguasai materi pembelajaran
secara cepat juga ada yang menguasai isi pembelajaran secara lambat, dan (c) pebelajar perlu disikapi sebagai subyek yang unik, baik menyangkut proses merasa, berpikir, dan karakteristik individual sebagai hasil bentukan lingkungan keluarga, teman bermain, maupun lingkungan kehidupan sosial masyarakatnya.
Lebih lanjut lagi sejumlah prinsip di atas dapat dihubungkan dengan prinsip progresivisme yang beranggapan bahwa:
(1) Penguasaan pengetahuan dan keterampilan tidak bersifat mekanistis tetapi memerlukan daya kreativitas. Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan melalui kreativitas ini berkembang secara berkesinambungan. Pemahaman kosa kata misalnya, akan membentuk keterampilan menyusun kalimat. Begitu juga kemampuan membaca dan menulis dibentuk oleh kemampuan memahami kosakata dan keterampilan menyusun kalimat. Pengetahuan dan keterampilan tersebut diperoleh secara utuh dan berkesinambungan apabila dalam proses pembelajarannya siswa secara kreatif melakukan pemaknaan kosakata, berlatih menyusun kalimat, melakukan kegiatan membaca, dan berlatih mengarang secara langsung. Selain itu, topik atau isi pembelajaran yang satu dengan yang lain harus memiliki hubungan dan secara potensial harus dapat dibentuk sebagai suatu keutuhan.
(2) Dalam proses belajarnya siswa seringkali dihadapkan pada masalah yang memerlukan pemecahan secara baru. Dalam memecahkan masalah tersebut siswa perlu menyaring dan menyusun ulang pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya secara coba-coba atau hipotesis. Dalam hal ini terjadi cara berpikir yang terkait dengan metakognisi. Sesuai dengan gambaran proses berpikir dalam pemecahan masalah , metakognisi adalah penghubungan suatu pengetahuan dengan pengalaman atau pengetahuan lain melalui proses berpikir untuk mehasilkan sesuatu (Marzano, 1992). Terdapatnya kesalahan dalam proses memecahkan
masalah maupun pada hasil yang dibuahkan sebagai bagian kegiatan belajar merupakan sesuatu yang wajar.
Sejalan dengan wawasan di atas, prinsip konstruksionisme menganggap bahwa proses belajar disikapi sebagai kreativitas dalam menata serta menghubungkan pengalaman dan pengetahuan hingga membentuk suatu keutuhan. Dalam tindak kreatif tersebut murid pada dasarnya merupakan subyek pemberi makna. Kesalahan sebagai bagian dari kegiatan belajar justru dapat membuahkan pengalaman dan pengetahuan baru. Sebab dalam proses pembelajaran guru sebaiknya tidak “menggurui” melainkan secara adaptip berusaha memahami jalan pikiran murid untuk kemudian menampilkan sejumlah kemungkinan. Fulwier (dalam Aminuddin, l994) berpendapat bahwa Like students, teacher as learner are unique. Dinyatakan demikian karena dalam mengendalikan, mengembangkan, sampai ke mengubah bentuk proses belajar mengajar guru bisa jadi sering dihadapkan pada masalah baru. Karena itu, guru juga perlu belajar, mengembangkan kreativitas sejalan dengan kekhasan subyek didik, peristiwa belajar, konteks pembelajaran, meupun terdapatnya berbagai bentuk perkembangan.
KBM juga dirancang dengan mengikuti prinsip-prinsip belajar mengajar dan prinsip motivasi dalam belajar. Belajar mengajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Dengan demikian, guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar berada pada diri siswa tetapi guru bertanggunag jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.
2. Landasan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Di sekolah dasar, landasan pembelajaran bahasa Indonesia ditelusuri melalui landasan formal berupa kurikulum, landasan filosofis-ideal berupa wawasan teoritik-konseptual, dan landasan operasional berupa buku teks bahasa Indonesia.
a. Landasan Formal
Landasan formal dalam meningkatkan kemampuan baca-tulis di SD adalah kurikulum bahasa Indonesia. Tujuan pengajaran bahasa Indonesia di SD secara umum mengacu pada kemampuan memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi serta menggunakannya secara tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan secara lisan ataupun tertulis (Resmini, 1998).
Berdasarkan praktik pembelajaran bahasa di kelas, Bull (1989) memilah rancangan kurikulum bahasa atas dasar proses dan isi. Orientasi isi didasarkan pada sesuatu yang diajarkan, materi, atau butir-butir pembelajaran. Sedangkan orientasi proses berkaitan dentgan deskripsi prosedural tentang bagaimanakah butir-butir pembelajaran tersebut disajikan. Dalam implementasinya, kedua orientasi ini memiliki tiga pola, yakti rancangan kurikulum yang berpola (1) orientasi kaya proses, tetapi terbatas isi, (2) orientasi proses terbatas, tetapi isi kaya/tinggi, dan (3) orientasi proses yang kaya/tinggi dengan isi yang kaya/tinggi pula.
Pola pertama dirancang dalam praktik pembelajaran bahasa yang mengacu pada proses, misalnya proses menulis. Dinyatakan demikian sebab dalam proses menulis, fokus pembelajaran ditekankan pada pada bagaimana siswa berproses menulis secara aktif dan interaktif sehingga menghasilkan sebuah tulisn. Proses yang ditempuh dengan baik akan menghasilkan produk tulisan yang baik pula. Dengan demikian, pembelajaran ditekankan pada proses atau cara memahami area isi pembelajaran secara intra disiplin maupun lintas didiplin.
Dalam pola yang kedua, pembelajaran bahasa dilaksanakan denganm bertolak dari membaca area isi pembelajaran. Dengan cara ini siswa memanfaatkan kegiatan belajar bahasa untuk sekaligus mempelajari mata pelajaran lain. Demikian juga dalam praktik pembelajaran bahasa lintas kurikulum, melalui tema tertentu pembelajaran kiat berbahasa dijadikan sebagai landas tumpu untuk mempelajari area isi dari mata pelajaran lain.
Praktik pembelajaran bahasa dengan pola ketiga mengacu pada pelaksanaan pembelajaran bahasa yang mengacu atau memanfaatkan sastra anak (literature based). Realisasi dari pola pembelajaran ini didasarkan pada pemahaman siswa berkaitan dengan sastra anak yang dijadikan landasa tumpu pembelajaran tersebut. Bull (1089) menegaskan bahwa rancangan kurikulum atas dasar literature based berpotensi untuk terlaksananya pembelajaran yang kaya proses dengan isi yang kaya pula. Atau sebaliknya proses terbatas dan isi terbatas pula.
Berdasarkan paparan di atas, kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia mestinya berorientasi pada proses dan isi secara proposional, yang dirancang untuk untuk pola pembelajaran yang kaya proses dan isi. Untuk itu, pperan guru sangatlah penting terutama dalam pemilihan metode pengajaran yang tepat dan beragam sesuai tujuan. Berdasarkan rancangan kurikulum tersebut maka pembelajaran bahasa Indonesia akan didasarkan pada pendekatan komunikatif dengan pola penataan bahan tematis, proses pembelajaran yang dilaksanakan secara integratif dengan mengaktifkan proses belajar siswa.
b. Landasan Teoritik-Konseptual
Landasan teoritik-konseptual merupakan sejumlah pendekatan yang melandasi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan komunikatif yang dijiwai teori fungsionalisme, pendekatan tematis-integratif, dan pendekatan proses. Dikemukakan dalam GBPP Bahasa Indonesia SD bahwa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karea itu, belajar bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi lisan maupun tulis dengan menggunakan baha yang baik dan benar.
Pembentukan kompetensi komunikasi harus didukung oleh empat kompetensi lain, yakni kompetensi gramatika, sosiolinguistik, kewacanaan, dan srategi komunikasi. Dalam upaya pencapaian kompetensi komunikatif, bahan pembelajaran ditata secara tematis dengan KBM yang bersifat integratif. Dengan bahan yang berancangan tematis, titik tolak pembelajaran adalah tema. Tema ini merupakan payung pemersatu pembelajaran dan bukanlah tujuan melainkan sarana penersatu kegiatam berbahasa (Depdikbud, 1994:10).
Sebagai unsur pengikat, tema dan topik diarahkan untuk membentuk keterampilan berbahasa secara terpadu. Keterpaduan itu menyangkut keterpaduan antara materi bahasa Indonesia dalam pengajaran bahasa Indonesia, serta keterpaduan antara pengajaran bahasa Indonesia dengan materimata pelajaran yang lain. Mengacu pada keterpaduan yang sama, satu tema dapat digunakan untuk mengembangkan dua keterampilan berbahasa atau lebih, sekaligus memadukan sejumlah aspek kebahasaan, misalnya struktur dan kosakata. Misalnya dalam pembelajaran proses menulis pemaduan keterampilan berbahasa benar-benar dapat memperoleh tempat proporsional. Hal ini didasrkan pada ciri pembelajaran proses menulis yang dinamis, interaktif, dan konstruktif sehingga memberikan peluang besar untuk pemaduan tersebut (Eanes, 1997; Tompkins, 1994; Tomkins 1991; Suhor, 1984)
c. Landasan Operasional
Dalam praktik pembelajara bahasa Indonesia peranan buku teks sebagai salah satu sumber pembelajan sangat penting. Diantara sumber pembelajaran lainnya buku teks terkesan lebih dominan. Di lapangan buku teks disikapi sebagai satu-satunya informasi yang bersifat instan. Padahal seharusnya diseleksi, dianalisis, dan di bandingkan dengan butor-butir
pembelajaran serta hasil jabaran pembelajaran yang ada dikurikulum sehingga ada keterkaitan dengan proses hasil belajar.
Dengan demikian, seharusnya guru dalam melaksanakan prakti pembelajarannya juga meninjau GPPP tidak hanya memanfaatkan buku teks saja tanpa menyesuaikannya dengan GPPP. Dari segi proses pembelajaran, butir-butir isi pembelajaran harus ditata secara utuh, runtut, dan berkesinambungan. Untuk itu misalnya butir-butir pembelajaran menulis yang terdapat dalam buku teks dipadukan dengan butir-butir pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Pemaduan tersebut akan menghasilkan sekuensi tataan isi pembelajaran yang menyiratkan proses/ prosedur pembelajarannya.
2. Pendekatan dalam Pembelajaran Bahasa
Dalam istilah belajar mengajar, kita mengenal pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda walaupun dalam penerapannya ketiga-tiganya saling berkaitan. Ramelan (1982) mengutip pendapat Anthony yang mengatakan bahwa pendekatan mengacu pada seperangkat asumsi yang saling berkaitan dan berhubungan dengan sifat bahasa serta pengajaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar teoritis untuk suatu metode. Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang menganggap bahasa sebagai kebiasaan; ada pula yang menganggap bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan; dan ada lagi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah. Asumsi-asumsi tersebut menimbulkan adanya pendekatan-pendekatan yang berbeda, yakni :
(1) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Penekanannya ada pada pembiasaan.
(2) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti berusaha untuk memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan. Tekanan pembelajarannya terletak pada pemerolehan kemampuan komunikasi.
(3) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa dalam pembelajaran bahasa yang harus diutamakan ialah pemahaman akan kaidah-kaidah yang mendasari ujaran, tekanan, pembelajaran pada aspek kognitif bahasa, bukan pada kemampuan menggunakan bahasa (Zuchdi, 1997).
Pendekatan apapun yang dipilih guru dalam melaksanakan program KBM, pada dasarnya tuntutan untuk menampatkan siswa sebagai pusat perhatian dan perlakuan sangat utama. Peran guru dalam pembentukan pola KBM di kelas tidak hanya ditentukan oleh didaktik-metodik “apa yang akan dipelajari saja, melainkan pada “bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar anak”. Pengalaman belajar ini diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi secara aktif lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan, serta berkonsultasi dengan nara sumber. Dalam merancang KBM bahasa Indonesia terdapat beberapa pendekatan yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut.
Pendekatan Whole Language
Pembelajaran bahasa mengacu pada pendekatan whole language sehingga dalam implementasinya digunakan pendekatan integratif. Syafi’ie (1996:16) mengemuakakan pendapatnya bahwa dalam pengertian yang luas, integratif dapat diartikan sebagai penyatuan berbagai aspek ke dalam satu keutuhan yang padu. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Infonesia berdasarkan konsep integratif mengacu pada pengembangan dan penyajian materi pelajaran bahasa secara terpadu. Lingkungan proses belajar mengajar bahasa yang dilandasi keterpaduan mengacu pada pandangan tentang hakikat bahasa whole language.
Keterpaduan dalam pengajaran bahasa mencerminkan adanya pandangan whole language yaitu pandangan tentang kebenaran mengenai hakikat proses belajar dan bagaimana mendorong proses tersebut agar berlangsung secara optimal di kelas. Godman mengemukakan beberapa prinsip whole language dalam pengejaran bahasa yaitu (l) program pembinaan
kemampuan baca-tulis di sekolah harus dikembangkan berdasarkan kenyataan proses belajar yang sesungguhnya dan memanfaatkan motivasi yang bersifat intrinsik, (2) strategi membaca dan menulis dikembangkan dalam pemakaian bahasa yang relevan, fungsional, dan bermakna, (3) perkembangan kemampuan menguasai keterampilan membaca dan menulis mengikuti dan dimotivasi oleh perkembangan fungsi-fungsi membaca dan menulis. Robb juga mengemukakan prinsip pengajaran bahasa dengan pendekatan whole language yang berpijak pada (l) keterampilan berbahasa diajarkan secara terpadu, (2) belajar dilakukan dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, (3) materi ajar didasarkan pada teks (literature centered), dan (4) belajar dilakukan secara kolaboratif yang lebih menekankan pada proses (Knape, 1992:67).
Didasarkan pada pendekatan pengajaran bahasa yang berwawasan whole language maka pembelajaran bahasa Indonesia harus memiliki keterpaduan antara (l) pembelajaran komponen kebahasaaan, pemahaman, dan penggunaan, (2) isi pembelajaran dengan pengetahuan dan pengalaman siswa, dan (3) perolehan pengalaman belajar siswa dengan kenyataan penggunaan bahasa sesuai dengan aktivitas penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupannya. Dengan adanya pendekatan pengajaran bahasa yang diorientasikan pada wawasan whole language maka dalam setiap pelaksanaannya, aktivitas pembelajaran bahasa tidak dilakukan secara fragmentis melainkan utuh, padu sebagai suatu kesatuan.
Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld, l989, Matthews, l994, dalam Suparno, l997). Pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang direkonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan secara terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget dalam Suparno, l997).
Pada dasarnya belajar merupakan (l) proses berpikir secara aktif, (2) proses berpikir sebagai upaya menghubungkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki (skemata) dengan informasi atau masalah baru secara kritis dan kreatif, (3) proses berpikir yang secara potensial menuju dan membentuk keutuhan berdasarkan “konstruksi” yang dilakukan, (4) proses pembuahan pemahaman yang akan melekat dan terkembangkan secara terus menerus apabila berlangsung lewat penghayatan dan internalisasi. Aminuddin (1994) mengemukakan contoh analogi bahwa sebagai pemaham dan penghayat pandangan konstruktivisme, ketika guru membaca butir pembelajaran dengan kompetensi dasar agar siswa mampu Membaca teks bacaan dan memahami isinya maka guru akan melakukan kegiatan sebagai berikut. Berusaha memahami hal apa saja yang berhubungan dengan membaca teks bacaan dan memahami isinya. Proses pemahamannya dipandu oleh hasil belajar dan indikator pencapaiaan hasil belajar yang ditafsirkan cocok digunakan sebagai landasan penjabaran butir pembelajaran. Berusaha membangkitkan pengalaman serta pengetahuan yang relevan dengan butir pembelajaran tersebut, mempelajari buku tentang membaca, bertanya kepada orang lain atau teman sejawat dan berdiskusi dengannya. Ketika menggambarkan perihal yang berhubungan dengan membaca teks bacaan dan memahami isinya, tergambar berbagai kemungkinan yang bisa dipilih. Dalam hal ini guru hanya memfokuskan perhatian pada jabaran yang (l) sesuai dengan tingkat pengalaman dan pengetahuan siswa baik yang diperoleh di dalam kelas maupun kehidupan sehari-harinya, (2) memiliki kesatuan hubungan dan menjanjikan terbuahkannya pemahaman secara utuh, dan (3) memiliki hubungan dengan aktivitas kehidupan siswa sehingga jabaran yang dipilih benar-benar terhayati dan membuahkan pengalaman dan pemahaman yang terkembangkan secara terus menerus. Menggambarkan bahan ajar yang mesti dipersiapkan untuk keperluan pembelajaran di kelas, bentuk KBM yang membuahkan pemahaman, penghayatan, pengalaman, internalisasi, dengan menyesuaikan alokasi
waktu bila dihubungkan dengan rentetan pertemuan sebelum dan sesudahnya.
Melihat dari apa yang dilakukan guru di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa ketika guru akan melakukan pembelajaran dia harus (l) memiliki pengalaman dan pengetahuan menyangkut butir pembelajaran yang akan dianalisis, (2) mampu menggambarkan pengalaman dan pengetahuannya dalam bentuk-bentuk situasi konkret sesuai dengan “dunia pengalaman, pengetahuan, dan kehidupan sehari-hari siswa”. (3) mampu memetakan berbagai lintasan gambaran sehingga menjalin hubungan yang utuh, (4) mampu memetakan hubungan antara jabaran butir kompetensi dasar dengan materi pokok yang dimanfaatkan di kelas, KBM, alokasi waktu, dan bentuk asesmen yang mungkin dikembangkan, serta (5) memprediksikan bentuk-bentuk penguasaan isi pembelajaran yang dibuahkan lewat proses belajar yang ditempuhnya. Sebagai contoh ketika siswa ditugaskan membaca paragraf dalam bacaan, yang dapat diperoleh bukan hanya pemahaman informasi menyangkut fakta, gagasan, pendapat dalam paragraf, tetapi juga tentang kalimat utama, kalimat penjelas, dan cara yang ditempuh penulisnya dalam mengembangkan paragraf.
Pada dasarnya salah satu sasaran pembelajaran adalah membangun gagasan saintifik siswa melalui kegiatan interaksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitar siswa. Pandangan konstruktivisme menganggap semua peserta didik mulai dari TK sampai perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan sendiri tentang lingkungan dan peristiwa/gejala alam di sekitarnya meskipun gagasan/pengetahuan ini naif atau kadang-kadang salah. Mereka senantiasa mempertahankan gagasan/pengetahuan naif ini secara kokoh sebagai suatu kebenaran. Hal ini berlangsung karena gagasan/pengetahuan yang dimiliki siswa terkait dengan gagasan/pengetahuan awal lain yang sudah terbangun dalam wujud skemata (struktur kognitif) dalam benak siswa. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang dikatahui siswa”. Guru
tidak dapat mendoktrinasi gagasan spesifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang nonsaintifik menjadi pengatahuan/gagasan saintifik. Dengan demikian, yang dapat mengubah gagasan siswa adalah siswa itu sendiri. Guru hanya berperan sebagai fasilitator penyedia “kondisi” supaya proses belajar untuk memperoleh konsep yang benar dapat berlangsung dengan baik (Puskur, 2002).
Berikut beberapa kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme antara lain sebagai berikut. Diskusi atau curah pendapat yang menyediakan kesempatan agar semua siswa mampu mengemukakan pendapat dan gagasannya. Demontrasi dan peragaan praktik keterampilan berbahasa Kegiatan praktis lain yang memberi peluang kepada siswa untuk mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.
Hal tersebut sejalan dengan wawasan Whole Language, proses pembelajaran bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, memahami kebahasaan dan berapresiasi sastra) disikapi sebagai constructive process yang berlangsung secara dinamis (Godman, 1986). Proses pembelajaran yang dilakukan dinyatakan memuat gambaran wawasan whole language bila (l) hasil belajar tentang bunyi, kosakata, struktur, sastra, mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis memiliki kesinambungan dan keterpaduan, (2) siswa mempelajari bahasa dalam konteks pemakaian baik secara lisan maupun tulis, (3) siswa mempelajari bahasa sesuai dengan keragaman fungsi dan pemakaian, (4) proses kreatif anak dalam berbahasa lebih mendapatkan perhatian dibandingkan pemahaman ihwal kebahasaan, dan (5) guru mengadakan evaluasi proses dan hasil secara integratif dengan menggunakan berbagai data sebagai sumber dan bahan penilaian.
Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi (yang selanjutnya disebut kompetensi
komunikasi), yaitu kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks yang seutuhnya. Kegiatan utama dalam kegiatan belajar-mengajar bahasa yang menggunakan pendekatan komunikatif berupa latihan-latihan yang langsung dapat mengembangkan kompetensi komunikasi yangdimiliki pembelajar; tidak hanya menguasai bentuk-bentuk bahasa, tetapi sekaligus menguasai bentuk, makna, serta pemakaiannya.
Dalam pendekatan komunikatif pembelajar berperan sebagai negosiator antara dirinya dengan temannya, atau dengan objek yang dipelajari. Pembelajar harus aktif berinisiatif melakukan kegiatan komunikasi. Untuk keperluan ini seringkali disediakan teks, aturan atau kaidah gramatika tidak dibahas secara eksplisit, pengaturan tempat duduk seringkali bersifat inkonvensional, pembelajar diharapkan lebih banyak berinteraksi dengan pembelajar lain, dan kesalahan yang tidak menganggu komunikasi ditolerir (Richard dan Rodgers, 1987).
Pendekatan komunikatif mengikuti pandangan bahwa bahasa pada hakikatnya adalah alat komunikasi atau alat interaksi sosial. Dalam rambu-rambu pembelajaran, antara lain dikemukakan: (a) belajar BI pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis, (b) pembelajaran kebahasaan ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan penggunaan BI, dan (c) BI sebagai alat komunikasi digunakan untuk bermacam-macam fungsi, sesuai dengan apa yang ingin dikomunikasikan oleh penutur. Dalam penggunaan BI, faktor-faktor penentu komunikasi (misalnya: partisipan tutur, topik tutur, tujuan tutur, dan situasi tutur) harus selalu dipertimbangkan.
Pendekatan Tematis-Integratif
Yang dimaksud dengan pendekatan tematis-integratif adalah pembelajaran bahasa harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang sewajarnya. Pengorganisasian materi tidak diwujudkan dalam bentuk pokok bahasan secara terpisah, tetapi diikat dengan menggunakan tema-tema tertentu dengan menganut asas kesederhanaan, kebermaknaan dalam komunikasi,
kewajaran konteks, keluwesan (disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan tempat), keterpaduan, dan kesinambungan berbagai segi dan keterampilan berbahasa.
Unsur-unsur bahasa dipelajari dalam konteks wacana, dan penggunaan bahasa selalu berada dalam integrasi berbagai keterampilan berbahasa. Pendekatan temaris-integratif ini dituangkan dalam rambu-rambu pembelajaran, yang antara lain, berupa : (a) tema digunakan untuk pengembangan dan perluasan kosa kata siswa serta sebagai pemersatu kegiatan belajar BI siswa sehingga pembelajaran BI berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, (b) pembelajaran BI mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pembinaan keempat aspek ini harus dilakukan secara terintegrasi.
Pembelajaran bahasa yang didasarkan pada pendekatan tematis-integratif harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang sewajarnya. Pengorganisasian materi tidak diwujudkan dalam bentuk meteri pokok bahasan secara terpisah, tetapi diikat dengan menggunakan tema-tema tertentu dengan menganut asas kesederhanaan, kebermaknaan dalam komunikasi, kewajaran konteks, keluwesan (disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan tempat), keterpaduan, dan kesinambungan berbagai segi keterampilan berbahasa.Unsur-unsur bahasa dipelajari dalam konteks wacana, dan penggunaan bahasa selalu berada dalam integrasi berbagai keterampilan berbahasa. Pendekatan ini berimplikasi antara lain (l) tema digunakan untuk pengembangan dan perluasan kosa kata siswa serta sebagai pemersatu kegiatan belajar bahasa Indonesia (BI) siswa sehingga pembelajaran BI berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, (2) pembelajaran BI mencakup empat aspek keterampilan berbahasa harus dilakukan secara terintegrasi.
Lewat kegiatan pengajaran membaca, pemahaman tentang ejaan, tanda baca, kosakata, kalimat, makna, dan penanda hubungan kewacanaan terolah secara serempak. Selain itu, guru akan merasakan bahwa pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh setelah membaca ternyata juga berperanan dalam
mengembangkan kemampuan menulis, bermanfaat ketika melakukan kegiatan wicara, baik yang formal maupun informal. Selain itu, pengalaman dan pengetahuan tersebut juga membantu mengembangkan kemampuan menyimak. Berdasarkan pengalaman demikian, maka guru dapat menarik kesimpulan bahwa dalam belajar bahasa, jabaran butir pembelajaran yang satu dengan yang lain tidak dapat disusun dalam tata urutan yang terpisah-pisah. Pembelajaran yang berkaitan dengan materi kebahasaan, kesusastraan, menyimak, membaca, wicara, menulis, harus dijalin secara padu.
Selain bentuk keterpaduan yang dirancang dalam lingkup satu bidang studi (intra bidang studi), keterpaduan pembelajaran dapat dilakukan dalam bentuk lintas bidang studi (antarbidang studi). Ditinjau dari cara memadukan konsep, keterampilan, topik, dan unit tematisnya maka guru bisa memilih salah satu dari sepuluh cara merencanakan pembelajaran terpadu. Kesepuluh cara itu adalah pemaduan dengan bentuk (l) fragmented, (2) connected, (3) nested, (4) sequented, (5) shared, (6) webbed, (7) threated, (8) integrated, (9) immersed, dan (l0) networked (Fogarty, l99l).
Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses diartikan sebagai pendekatan belajar-mengajar yang mengarah pada pengembangan kemampuan mental, fisik, dan sosial sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam individu siswa. Cara pandang ini diterjemahkan dalam kegiatan belajar-mengajar yang sekaligus memperhatikan pengetahuan, sikap dan nilai, serta keterampilan. Ketiga ranah ini menyatu dalam diri siswa dalam bentuk kreativitas. Tujuan pokok dari pemakaian keterampilan proses adalah mengembangkan kreativitas siswa dalam belajar, sehingga siswa dapat secara aktif mengolah dan mengembangkan hasil perolehan/belajarnya (Dikbud, 1985).
Konsep pendekatan keterampilan prose tersebut selanjutnya lebih dikenal dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif untuk
mengembangkan kemampuan pribadinya dalam hal : (1) mempelajari konsep, (2) mempelajari, mengalami dan melakukan sendiri cara mendapatkan pengetahuan, (3) merasakan dan mengembangkan sendiri rasa ingin tahu, jujur, tekun, disiplin, kreatif terhadap tugas yang diberikan, (4) menemukan sifat dan kemampuan diri sendiri serta kelompoknya, (5) memikirkan, mencobakan sendiri dan mengembangkan konsep tertentu. (6) menemukan dan mempelajari gejala/kejadian yang dapat mengembangkan gagasan baru, dan (7) menunjukkan kemampuan mengkomunikasikan cara berpikir yang menghasilkan penemuan baru dan penghayatan nilai-nilai melalui gambar atau penampilan diri (Dikbud, 1985). Selama kurang lebih 25 tahun konsep CBSA sudah diperkenalkan dalam dunia pendidikan kita. Namun demikian, pengembangbiakan CBSA dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar masih jauh dari harapan. Pengembangbiakan CBSA yang seharusnya memberikan harapan yang menggembirakan justru diikuti oleh pencemaran konseptual. Pemogramannya seringkali dikaitkan dengan kebutuhan fasilitas dalam bentuk alat peraga dan bangku. Penerapannya dalam pengelolaan kegiatan belajar-mengajar sering ditandai oleh penampilan ciri-ciri superfisial, seperti kerja kelompok yang semu serta kegaduhan yang disangka sebagai pencerminan keaktifan belajar (Joni, 1985).

Selasa, 25 Januari 2011

Manusia Tak Pernah Sepakat Soal Definisi Hubungan Seks



img
foto: Thinkstock
Bloomington, Indiana,Hubungan seks punya pengertian sangat luas, terlebih dengan banyaknya variasi yang bisa dilakukan. Ada yang menilai seks oral tidak termasuk hubungan seks, ada juga penilaian yang lebih ekstrem yakni penetrasi penis ke vagina bukan hubungan seks jika memakai kondom.

Dalam sebuah survei di Indiana University, 484 responden yang berusia 18-96 tahun dimintai penilaian atas berbagai aktivitas seksual. Para responden diminta menentukan, apakah aktivitas tersebut termasuk hubungan seks atau bukan.

Sudah bisa diduga, sebagian besar responden menilai penetrasi penis ke vagina merupakan bentuk hubungan seks. Penilaian ini disepakati oleh sekitar 82 persen dari seluruh responden tanpa membedakan kelompok usia.

Temuan yang agak mengejutkan adalah, 11 persen responden menilai bahwa penetrasi tidak digolongkan sebagai hubungan seks jika pihak pria tidak mencapai orgasme. Bagi kelompok ini, hubungan seks mensyaratkan terjadinya orgasme pada pria.

Agak berbeda dengan penelitian terdahulu, 70 persen responden dalam penelitian ini menilai seks oral tetap termasuk bentuk lain dari hubungan seks. Dalam penelitian terdahulu, 80 persen responden wanita menolak seks oral disebut hubungan seks.

Ketika dikelompokkan berdasarkan usia, terdapat perbedaan persepsi antara responden yang masih muda dan yang sudah tua soal definisi hubungan seks. Dibanding yang sudah tua, responden yang lebih muda punya lebih banyak kriteria soal hubungan seks.

Misalnya soal penggunaan kondom, 100 persen responden berusia 19-29 tahun menilai hubungan seks 'tidak sah' jika dilakukan dengan kondom. Sementara di kelompok usia 65 tahun ke atas, penetrasi penis ke vagina tetap disebut hubungan seks, dengan atau tanpa kondom.

Soal seks anal (penis masuk ke anus), 80 persen responden yang lebih muda menilainya sebagai hubungan seks jika dilakukan tanpa kondom. Sementara bagi kelompok usia 65 tahun ke atas, hanya 50 persen yang sepakat jika seks anal disebut hubungan seks.

SISTEMATIKA FILSAFAT

A. Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.
2. Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3. Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.

B. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.
Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Empirisme;
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
2. Rasionalisme;
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.
3. Positivisme;
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4. Intuisionisme.
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.

C. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika.
1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.

Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan, peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.

MACAM-MACAM MAJAS (GAYA BAHASA)

1. Klimaks

Adalah semacam gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal yang dituntut semakin lama

semakin meningkat.

Contoh : Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman, dan pengalaman

harapan.

2. Antiklimaks

Adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berurutan semakin lma semakin

menurun.

Contoh : Ketua pengadilan negeri itu adalah orang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal

namanya

3. Paralelisme

Adalah gaya bahasa penegasan yang berupa pengulangan kata pada barisatau kalimat.

Contoh : Jika kamu minta, aku akan datang

4. Antitesis

Adalah gaya bahasa yang menggunakan pasangan kata yang berlawanan maknanya.

Contoh : Kaya miskin, tua muda, besar kecil, smuanya mempunyai kewajiban terhadap

keamanan bangsa.
Reptisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting
untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai

5. Epizeuksis

Adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa

kali berturut-turut.

Contoh : Kita harus bekerja, bekerja, dan bekerja untuk mengajar semua ketinggalan kita.

6. Tautotes

Ada;aj repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi.

Contoh : kau menunding aku, aku menunding kau, kau dan aku menjadi seteru

7. Anafora

Adalah repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap garis.

Contoh : Apatah tak bersalin rupa, apatah boga sepanjang masa

8.Epistrofora

Adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir kalimat berurutan

Contoh : Bumi yang kau diami, laut yang kaulayari adalah puisi,

Udara yang kau hirupi, ari yang kau teguki adalah puisi

9. Simploke

Adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut.

Contoh : Kau bilang aku ini egois, aku bilang terserah aku. Kau bilang aku ini judes, aku

bilang terserah aku.

10.Mesodiplosis

Adalah repetisi di tengah-tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan.

Contoh : Para pembesar jangan mencuri bensin. Para gadis jangan mencari perawannya

sendiri.

11.Epanalepsis

Adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang
kata pertama.
Contoh : Kita gunakan pikiran dan perasaan kita.

33.Paradoks

Adalah gaya bahasa yang mengemukakan hal yang seolah-olah bertentangan, namun

sebenarnya tidak karena objek yang dikemukakan berbeda.

Contoh : Dia besar tetapi nyalinya kecil.

34.Oksimoron

adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang
berlawanan dalam frasa yang sama.
Contoh : Keramah-tamahan yang bengis

35.Asosiasi atau Simile

Adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan

keadaan yang dilukiskannya.

Contoh : Pikirannya kusut bagai benang dilanda ayam

36.Metafora

Adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda tertentu dengan benda lain yang

mempunyai sifat sama.

Contoh : Jantung hatinya hilang tiada berita

37.Alegori

adalah gaya bahasa yang membandingkan kehidupan manusia dengan alam.

Contoh : Iman adalah kemudi dalam mengarungi zaman.

38.Parabel

Adalah gaya bahasa parabel yang terkandung dalam seluruh karangan dengan secara halustersimpul dalam karangan itu pedoman hidup, falsafah hidup yang harus ditimba di dalamnya.

Contoh : Cerita Ramayana melukiskan maksud bahwa yang benar tetap benar

39.Personifikasi

Adalah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup.

Contoh : Hujan itu menari-nari di atas genting

40.Alusi

Adalah gaya bahasa yang menghubungkan sesuatu dengan orang, tempat atau peristiwa.

Contoh : Pkartini kecil itu turut memperjuangkan haknya

41.Eponim

Adalah gaya dimana seseorang namanya begitu sering dihubungakan dengan sifat tertentu,sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan suatu sifat tertentu sehingga nama itu dipakaiuntuk menyatakan sifat itu.

Contoh : Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan.

42.Epitet

Adalah gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau

sesuatu hal.

Contoh : Lonceng pagi untuk ayam jantan.

43.Sinekdoke

-Pars Pro Tato

Adalah gaya bahasa yang menyebutkan sebagianhal untuk menyatakan keseluruhan.

Contoh : Saya belum melihat batang hidungnya

-Totem Pro Parte

Adalah gaya bahasa yang menyebutkan seluruh hal untuk menyatakan sebagian. Contoh

: Thailand memboyong piala kemerdekaan setelah menggulung PSSi Harimau

44.Metonimia

Adalah gaya bahasa yang menggunakan nama ciri tubuh, gelar atau jabatan seseorang

sebagai pengganti nama diri. Contoh : Ia menggunakan Jupiter jika pergi ke sekolah

45.Antonomasia

Adalah gaya bahasa yang menyebutkan sifat atau ciri tubuh, gelar atau jabatan seseorang

sebagai pengganti nama diri. Contoh : Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.

46.Hipalase

Adalah gaya bahasa sindiran berupa pernyataan yang berlainan dengan yang dimaksudkan.Contoh : ia masih menuntut almarhum maskawin dari Kiki puterinya (maksudnya menuntutmaskawin dari almarhum)

47.Ironi

Adalah gaya bahasa sindiran berupa pernyataan yang berlainan dengan yang dimaksudkan.

Contoh : Manis sekali kopi ini, gula mahal ya?

48.Sinisme

adalah gaya bahasa sindiran yang lebih kasar dari ironi atau sindiran tajam

Contoh : Harum bener baumu pagi ini

49.Sarkasme

Adalah gaya bahasa yang paling kasar, bahkan kadang-kadang merupakan kutukan.

Contoh : Mampuspun aku tak peduli, diberi nasihat aku tak peduli, diberi nasihat masuk

ketelinga

50.Satire

Adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.

Contoh : Ya, Ampun! Soal mudah kayak gini, kau tak bisa mengerjakannya!

51.Inuendo

Adalah gaya bahasa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.

Contoh : Ia menjadi kaya raya karena mengadakan kemoersialisasi jabatannya

52.Antifrasis

Adalah gaya bahsa ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna sebaliknya,yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkalkejahatan, roh jahat, dan sebagainya.

Contoh : Engkau memang orang yang mulia dan terhormat

53.Pun atau Paronomasia

Adalah kiasan dengan menggunakan kemiripan bunyi.

Contoh : Tanggal satu gigi saya tinggal satu

54.Simbolik

Adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan benda-benda lain

sebagai simbol atau perlambang.

Contoh : Keduanya hanya cinta monyet.

55.Tropen

Adalah gaya bahasa yang menggunakan kiasan dengan kata atau istilah lain terhadap

pekerjaan yang dilakukan seseorang.

Contoh : Untuk menghilangkan keruwetan pikirannya, ia menyelam diri di antara botol

minuman.

56.Alusio

Adalah gaya bahasa yang menggunakan pribahasa atau ungkapan.

Contoh : Apakah peristiwa Turang Jaya itu akan terulang lagi?

57.Interupsi

adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata atau bagian kalimat yang disisipkan di

dalam kalimat pokok untuk lebih menjelaskan sesuatu dalam kalimat.

Contoh : Tiba-tiba ia-suami itu disebut oleh perempuan lain.

58.Eksklmasio

Adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata seru atau tiruan bunyi.

Contoh : Wah, biar ku peluk, dengan tangan menggigil.

59.Enumerasio

Adalah beberapa peristiwa yang membentuk satu kesatuan, dilukiskan satu persatu agar tiap

peristiwa dalam keseluruhannya tanpak dengan jelas.

Contoh : Laut tenang. Di atas permadani biru itu tanpak satu-satunya perahu nelayanmeluncur perlahan-lahan. Angin berhempus sepoi-sepoi. Bulan bersinar dengan terangnya.Disana-sini bintang-bintang gemerlapan. Semuanya berpadu membentuk suatu lukisan yangharomonis. Itulah keindahan sejati.

60.Kontradiksio Interminis

Adalah gaya bahasa yang memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah
dikemukakan sebelumnya.
Contoh : semuanya telah diundang, kecuali Sinta.

61.Anakronisme

Adalah gaya bahasa yang menunjukkan adanya ketidak sesuaian uraian dalam karya sastra

dalam sejarah, sedangkan sesuatu yang disebutkan belum ada saat itu.

Contoh : dalam tulisan Cesar, Shakespeare menuliskan jam berbunyi tiga kali (saat itu jam

belum ada)

62.Okupasi

Adalah gaya bahasa yang menyatakan bantahan atau keberatan terhadap sesuatu yang oleh

orang banyak dianggap benar.
Contoh : Minuman keras dapat merusak dapat merusak jaringan sistem syaraf, tetapi banyak
anak yang mengkonsumsinya.

63.Resentia

Adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu yang tidak mengatakan tegas pada bagian

tertentu dari kalimat yang dihilangkan.

Contoh : “Apakah ibu mau….?